Oleh:
Muhammad Rajab*
Pada
dasarnya pendidikan adalah untuk mengembalikan manusia kepada nilai-nilai
dirinya sebagai manusia. Karena salah satu perbedaan manusia dengan binatang
adalah pada akalnya. Sedangkan akal berfungsi untuk berfikir dan belajar. Maka
tidak salah kalau Paulo Freire mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah
memanusiakan manusia. Artinya mengembalikan manusia dari yang tidak beradab
menjadi beradab, dari tidak berilmu menjadi berilmu, dari bodoh menjadi pintar.
Dari ketidaktahuan menjadi tahu.
Lembaga pendidikan di Indonesia,
baik formal dan non formal semakin bertambah. Akan tetapi perubahan moral
khususnya di para remaja tidak mengindikasikan perubahan yang signifikan,
khususnya dalam moralitas. Kasus kriminalitas, kekerasan kerap kali terjadi
dalam dunia pendidikan. Anehnya lagi, para pejabat yang sudah kita anggap
sebagai orang yang sangat berpendidikan tidak menunjukkan perilaku yang baik
dalam bersikap. Kasus korupsi, “pertikaian” para anggota DPR kita saat berdebat
dan merumuskan undang-undang satu bentuk kebobrokan hasil pendidikan kita.
Inilah akibat dari paradigma pendidikan yang
salah di tengah-tengah masyarakat. Pendidikan hanya dianggap sebagai transfer
of knowledge. Yang mana seorang guru hanya bertugas memberikan pengetahuan
kepada siswanya tanpa memperhatikan tugas utamanya, yakni menjaga dan
membimbing anak didik untuk bersikap sesuai dengan nurma-nurma dan nilai-nilai
kemanusiaan. Paradigma yang salah
tersebut akhirnya membawa dampak negatif terhadap hasil dari pendidikan
tersebut. Yang tercipta dari hasil pendidikan akhirnya adalah orang-orang yang
pinter dalam pengetahuan saja (kognitif) namun tidak mempunyai etika yang
positif.
Padahal
jika kita analisis secara sekilas menggunakan teori Bloom, maka kita akan
menemukan ketimpangan dalam pendidikan kita. Menurut Bloom ranah pendidikan itu
ada tiga, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Keberhasilan pendidikan
kita lebih menonjol pada aspek kognitif saja, dan telah mengalami kegagalan
dalam dua aspek lain.
Kalau
kita lihat dari sistem ujian nasional (UN) kita misalnya. Sangat Nampak sekali
kalau pendidikan kita lebih mengarah pada peningkatan aspek kognitif. Sehingga
berakibat pada pemahaman anak bahwa pendidikan seakan-akan hanya mencari nilai
angka saja. Sehingga sangat wajar kalau kita melihat anak-anak Indonesia yang
tidak lulus ujian nasional sampai pingsan, bahkan orang tua mereka juga
ikut-ikutan pingsan, dan ada juga yang sampai masuk rumah sakit jiwa (RSJ).
Mereka
beranggapan, seakan-akan nilai pendidikan hanya pada angka saja. Pendidikan
yang mengandung nilai-nilai mulia dan luas mengalami penyempitan makna. Sangat
ironis jika paradigma semacam ini terus bergulir di tengah-tengah generasi
bangsa Indonesia ke depan. Mereka akan lebih mementingkan
kepentingan-kepentingan sementara daripada kebutuhan dan kepentingan jangka
panjang.
Hal
inilah yang menurut Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan kita harus ditumpas.
Dia mengatakan bahwa konsep pendidikan yang dibangun dan dikerjakan oleh Barat
yang lebih menekankan pada akal semata, namun menegasikan dan menyepelekan akal
budi guna mempertajam kepekaan sosial terhadap sesama anak bangsa, merupakan
sebuah hal yang harus ditinggalkan karena konsep pendidikan ini merusak
kehidupan berbangsa di negeri ini.
Karyawan-isme
Melihat
kesalahpahaman yang telah dipaparkan di atas, pendidikan kita akhirnya hanya
akan mencetak para karyawan. Mengapa demikian?, karena sekolah dianggap sebagai
investasi bagi kehidupan ekonomi dalam sebuah keluarga. Mungkin kita pernah
merasakan, ketika kita mau mendaftarkan di sekolah, khususnya di sekolah tinggi
atau perguruan tinggi hanya untuk mendapatkan sebuah pekerjaan setelah nanti
lulus.
Bertujuan demikian tidak sepenuhnya
salah, akan tetapi ada nilai-nilai utama yang harus benar-benar dicapai ketiaka
berikrar untuk masuk dalam sebuah lembaga yaitu nilai-nilai moralitas, sosial
dan kepemimpinan. Sangat naïf sekali kalau lulusan sarjana kita hanya ditujukan
untuk menjadi seorang karyawan di salah satu perusahaan. Tujuan semacam itu
adalah tujuan yang sangat pendek dan kerdil.
Anehnya paham karyawan-isme ini melekat
di kebanyakan otak-otak kita. Cara pandang demikian tidak lain hanya akan
membawa negeri kita ke level yang rendah di bawah negara-negara lain. Maka tak
salah jika Malik Fajar mengatkan bahwa mahasiswa adalah agent of social
change. Pasalnya, mereka diharapkan dapat menjadi pemimpin di tengah-tengah
masyarakat, bukan untuk jadi karyawan.
Indonesia ini tidak hanya krisis
dalam moralitas saja, tapi juga mengalami krisis pemimpin. Artinya pemimpin
yang benar-benar bermoral dan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya
sangat jarang ditemukan. Untuk itu pendidikanlah sebagai sarana efektif untuk
menciptakan para pemimpin yang benar-benar mampu membawa masyarakat dalam
membangun bangsa.
Untuk itu paham karyawan-isme dalam dunia pendidikan kita yang saat ini sedang
mewabah dalam benak masyarakat harus segera diberantas. Pasalnya, jika tidak
segera mendapat perhatian dari pemerintah virus ini akan terus menjalar. Karena
memang sebagai manusia membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Sehingga dengan mudah paham ini akan merasuk dalam otak.
Untuk memberantas paham semacam itu
tidak semudah membalikkan telapak tangan. Akan tetapi membutuhkan usaha yang
keras dan komitmen yang kuat dari semua pihak yang berkecimpung dalam dunia
pendidikan, khususnya pemerintah. Dimulai dari penanaman pemahaman kepada siswa
sejak menginjak sekolah dasar bahwa pendidikan tidak cukup dengan bagusnya
nilai raport saja. Lebih dari itu, pendidikan adalah sebagai wahana untuk
mencetak anak bangsa yang bermoral dan beradap serta siap untuk menjadi
pemimpin bangsa di masa yang akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar