Ads 468x60px

Subscribe:

Labels

Jumat, 10 Februari 2012

KARYAWAN-ISME DALAM PENDIDIKAN


Oleh: Muhammad Rajab*
            Pada dasarnya pendidikan adalah untuk mengembalikan manusia kepada nilai-nilai dirinya sebagai manusia. Karena salah satu perbedaan manusia dengan binatang adalah pada akalnya. Sedangkan akal berfungsi untuk berfikir dan belajar. Maka tidak salah kalau Paulo Freire mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia. Artinya mengembalikan manusia dari yang tidak beradab menjadi beradab, dari tidak berilmu menjadi berilmu, dari bodoh menjadi pintar. Dari ketidaktahuan menjadi tahu.
            Lembaga pendidikan di Indonesia, baik formal dan non formal semakin bertambah. Akan tetapi perubahan moral khususnya di para remaja tidak mengindikasikan perubahan yang signifikan, khususnya dalam moralitas. Kasus kriminalitas, kekerasan kerap kali terjadi dalam dunia pendidikan. Anehnya lagi, para pejabat yang sudah kita anggap sebagai orang yang sangat berpendidikan tidak menunjukkan perilaku yang baik dalam bersikap. Kasus korupsi, “pertikaian” para anggota DPR kita saat berdebat dan merumuskan undang-undang satu bentuk kebobrokan hasil pendidikan kita.
  Inilah akibat dari paradigma pendidikan yang salah di tengah-tengah masyarakat. Pendidikan hanya dianggap sebagai transfer of knowledge. Yang mana seorang guru hanya bertugas memberikan pengetahuan kepada siswanya tanpa memperhatikan tugas utamanya, yakni menjaga dan membimbing anak didik untuk bersikap sesuai dengan nurma-nurma dan nilai-nilai kemanusiaan.  Paradigma yang salah tersebut akhirnya membawa dampak negatif terhadap hasil dari pendidikan tersebut. Yang tercipta dari hasil pendidikan akhirnya adalah orang-orang yang pinter dalam pengetahuan saja (kognitif) namun tidak mempunyai etika yang positif.
Padahal jika kita analisis secara sekilas menggunakan teori Bloom, maka kita akan menemukan ketimpangan dalam pendidikan kita. Menurut Bloom ranah pendidikan itu ada tiga, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Keberhasilan pendidikan kita lebih menonjol pada aspek kognitif saja, dan telah mengalami kegagalan dalam dua aspek lain.
Kalau kita lihat dari sistem ujian nasional (UN) kita misalnya. Sangat Nampak sekali kalau pendidikan kita lebih mengarah pada peningkatan aspek kognitif. Sehingga berakibat pada pemahaman anak bahwa pendidikan seakan-akan hanya mencari nilai angka saja. Sehingga sangat wajar kalau kita melihat anak-anak Indonesia yang tidak lulus ujian nasional sampai pingsan, bahkan orang tua mereka juga ikut-ikutan pingsan, dan ada juga yang sampai masuk rumah sakit jiwa (RSJ).
Mereka beranggapan, seakan-akan nilai pendidikan hanya pada angka saja. Pendidikan yang mengandung nilai-nilai mulia dan luas mengalami penyempitan makna. Sangat ironis jika paradigma semacam ini terus bergulir di tengah-tengah generasi bangsa Indonesia ke depan. Mereka akan lebih mementingkan kepentingan-kepentingan sementara daripada kebutuhan dan kepentingan jangka panjang.
Hal inilah yang menurut Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan kita harus ditumpas. Dia mengatakan bahwa konsep pendidikan yang dibangun dan dikerjakan oleh Barat yang lebih menekankan pada akal semata, namun menegasikan dan menyepelekan akal budi guna mempertajam kepekaan sosial terhadap sesama anak bangsa, merupakan sebuah hal yang harus ditinggalkan karena konsep pendidikan ini merusak kehidupan berbangsa di negeri ini.

Karyawan-isme
            Melihat kesalahpahaman yang telah dipaparkan di atas, pendidikan kita akhirnya hanya akan mencetak para karyawan. Mengapa demikian?, karena sekolah dianggap sebagai investasi bagi kehidupan ekonomi dalam sebuah keluarga. Mungkin kita pernah merasakan, ketika kita mau mendaftarkan di sekolah, khususnya di sekolah tinggi atau perguruan tinggi hanya untuk mendapatkan sebuah pekerjaan setelah nanti lulus.
            Bertujuan demikian tidak sepenuhnya salah, akan tetapi ada nilai-nilai utama yang harus benar-benar dicapai ketiaka berikrar untuk masuk dalam sebuah lembaga yaitu nilai-nilai moralitas, sosial dan kepemimpinan. Sangat naïf sekali kalau lulusan sarjana kita hanya ditujukan untuk menjadi seorang karyawan di salah satu perusahaan. Tujuan semacam itu adalah tujuan yang sangat pendek dan kerdil.
            Anehnya paham karyawan-isme ini melekat di kebanyakan otak-otak kita. Cara pandang demikian tidak lain hanya akan membawa negeri kita ke level yang rendah di bawah negara-negara lain. Maka tak salah jika Malik Fajar mengatkan bahwa mahasiswa adalah agent of social change. Pasalnya, mereka diharapkan dapat menjadi pemimpin di tengah-tengah masyarakat, bukan untuk jadi karyawan.
            Indonesia ini tidak hanya krisis dalam moralitas saja, tapi juga mengalami krisis pemimpin. Artinya pemimpin yang benar-benar bermoral dan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya sangat jarang ditemukan. Untuk itu pendidikanlah sebagai sarana efektif untuk menciptakan para pemimpin yang benar-benar mampu membawa masyarakat dalam membangun bangsa.
             Untuk itu paham karyawan-isme dalam  dunia pendidikan kita yang saat ini sedang mewabah dalam benak masyarakat harus segera diberantas. Pasalnya, jika tidak segera mendapat perhatian dari pemerintah virus ini akan terus menjalar. Karena memang sebagai manusia membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sehingga dengan mudah paham ini akan merasuk dalam otak.
            Untuk memberantas paham semacam itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Akan tetapi membutuhkan usaha yang keras dan komitmen yang kuat dari semua pihak yang berkecimpung dalam dunia pendidikan, khususnya pemerintah. Dimulai dari penanaman pemahaman kepada siswa sejak menginjak sekolah dasar bahwa pendidikan tidak cukup dengan bagusnya nilai raport saja. Lebih dari itu, pendidikan adalah sebagai wahana untuk mencetak anak bangsa yang bermoral dan beradap serta siap untuk menjadi pemimpin bangsa di masa yang akan datang.

           

Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar