Oleh:
Muhammad Rajab*
Terungkapnya
kasus nyontek massal Ujian Nasional (UN) di SDN Gadel II Surabaya adalah
bukti bahwa kejujuran mulai runtuh. Dalam pendidikan, kejujuran adalah nilai
mulia yang harus diperjuangkan. Kejujuran adalah harga mati yang tidak bisa
ditawa-tawar lagi. Pasalnya, kejujuran adalah kunci moralitas bangsa. Dengan
kejujuran semua permasalahan bangsa termasuk korupsi bisa teratasi. Hal ini yang banyak tidak
disadari oleh praktisi pendidikan kita. Sehingga, wajar kalau kejujuran tak
lagi dipegang demi mengejar kelulusan semata.
Mayoritas
masyarakat Indonesia memahami prestasi anak didik hanya dinilai dari tinggi
rendahnya nilai raport dan ijazah. Tak dapat dipungkiri bahwa ketika seorang
murid mendapatkan nilai yang tinggi maka para orang tua berbangga diri dengan
hasil tersebut. Akan tetapi sebaliknya, ketika nilai raport dan ijazah mereka
mendapatkan nilai yang rendah, mereka putus asa dan merasa rendah diri.
Fenomena
ini adalah sebuah kesalahan. Hal ini juga
pernah digambarkan oleh seorang budayawan, Zawawi Imran dalam sebuah seminar. Budayawan
asal Tanah Garam ini menyampaikan tentang sebuah perumpamaan nilai yang
substansial dalam pendidikan. Ia mencontohkan dua orang, Si A dan Si B. Nilai
agama Si A di sekolah mendapatkan 9, tapi dia tidak pernah solat subuh
berjama’ah bahkan bolong-bolong. Sedangkan si B mendapatkan nilai 6, tapi dia
rajin solat subuh, santun, ramah. Mana di antara keduanya yang secara
substansial harus mendapatkan nilai 9?. Tentunya jawabannya adalah yang kedua.
Ini sebenarnya adalah sindiriran terhadap praktik pendidikan di Indonesia saat
ini.
Memang
wajar, bahwa setiap orang ingin mendapatkan yang terbaik. Tapi perlu diingat,
nilai-nilai dan prestasi pendidikan bukan hanya dinilai dari tinggi rendahnya
angka raport dan ijazah. Padahal dalam bukunya tentang Kecerdasan Ganda (Multiple
Intelligences), Daniel Goleman mengingatkan kepada kita bahwa kecerdasan
emosional dan sosial dalam kehidupan diperlukan 80%, sementara kecerdasan
intelektual hanyalah 20% saja.
Perspektif
yang mengedepankan aspek kognitif dan nilai nominal raport semata dalam dunia pendidikan
merupakan sebuah kesalahan yang fatal. Hal ini berdasar pada UU No 20 Tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Perlu
disadari oleh semua pendidik, bahwa mendidik bukan hanya memberikan materi dan
mata pelajaran semata. Akan tetapi lebih dari itu, mendidik merupakan aktivitas
mulia yang berusaha menekankan dan menanamkan moralitas kepada peserta didik.
Jika mendidik hanya diartikan dan dipahami sebagai aktivitas mengajar saja,
maka ini adalah sebuah kesalahan yang besar karena telah menyempitkan makna
pendidikan.
Dalam
taksomoni Bloom dijelaskan bahwa ada tiga pilar utama yang perlu disentuh oleh
pendidikan, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ketiganya harus
benar-benar ditanamkan kepada peserta didik agar mereka sanggup menghadapi tantangan
budaya yang semakin carut-marut. Dalam hal ini, mental kejujuran memegang
peranan penting untuk mendapatkan ketiga aspek tersebut. Baik kejujuran kepada
diri sendiri, orang tua, guru, masyarakat, dan bangsa Indonesia.
Bibit
korupsi
Virus
kebohongan dan kecurangan dalam pelaksanaan UN adalah cikal bakal dan bibit
subur karakter korupsi. Mengapa orang-orang pintar yang saat ini duduk di kursi
kepemimpinan banyak melakukan tindakan korupsi?. Padahal, jika dilihat secara
keilmuan, mereka sangat mumpuni, gelarnya pun tidak tanggung-tanggung minimal
magister. Jawabannya hanya satu, yaitu hilangnya mental kejujuran dalam diri
mereka. Maka dari itu, jika anak didik sejak saat ini sudah mulai diajari untuk
tidak jujur maka jangan disalahkan kalau generasi mendatang akan lebih banyak
lagi muncul para koruptor.
Jika
lembaga pendidikan kita sudah mulai mengajarkan kebohongan kepada para
murid, maka siapa lagi yang akan merubah
karakter bangsa yang kian murat-marit ini. Padahal pendidikan memegang peranan
penting untuk melakukan perubahan di masa yang akan datang. Anak-anak yang
didik di dalamnya adalah generasi penerus bangsa di masa mendatang.
Perlu
diingat bahwa kejujuran harus benar-benar menjadi pegangan bagi para pendidik.
Nilai ini harus tetap menjadi prioritas utama dalam aktivitas pendidikan. Pasalnya,
kejujuranlah yang akan menentukan nasib bangsa Indonesia ke depan. Rusaknya
bangsa, bobroknya moral para penguasa, korupsi, nepotisme, dan semacamnya
merupakan akibat dari pendidikan yang salah. Sebuah pendidikan yang
mengenyampingkan kejujuran. Tapi malah sebaliknya, virus kebohongan dan
kecurangan selalu ditebarkan, khususnya ketika pelaksanaan ujian.
Menurut
Soemarno Sudarsono (2009), ada beberapa hal penting yang bisa dijadikan pijakan
untuk membangun karakter bangsa, yaitu kejujuran, keterbukaan, keberanian
mengambil resiko, bertanggung jawab, memenuhi komitmen, dan kemampuan berbagi.
Di sini Soemarno meletakkan kejujuran pada urutan pertama dikarenakan pentingnya
kejujuran dalam membangun karakter bangsa. Untuk itu, saatnya kita sadar dan
mengehentikan perilaku kecurangan dan kebohongan untuk menciptankan generasi
bangsa yang jujur di masa yang akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar