Oleh:
Muhammad Rajab*
Manusia adalah makhluk sosial
yang selalu membutuhkan bantuan, pertolongan dan kerja sama dengan orang lain.
Manusia tidak bisa hidup sendirian. Layaknya sebuah bangunan, tidak akan pernah
berdiri tanpa ada komponen-komponen yang bersatu dan saling menguatkan.
Bangunan akan berdiri kalau ada integrasi antara pondasi, tiang dan atap.
Begitu juga dengan manusia tidak ada kehidupan yang nyaman tanpa ada kerja sama
dan tolong menolong antarsesama.
Berinteraksi dengan orang lain memang
merupakan fitroh atau sunnatullah yang mau tidak mau manusia
pasti melewatinya. Sebab dengan interaksi tersebut, yang satu dapat mengenal
yang lain. Dari kesalingmengenalan itu diharapkan dapat tercipta kehidupan yang
harmonis.
Dengan interaksi juga, terbentuklah
suatu komonitas (community), masyarakat (society), kelompok dan
golongan. Dari komonitas dan masyarakat tersebut terciptalah kerja sama di antara
mereka untuk menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma-norma yang telah menjadi
kesepakatan bersama, mulai dari dari nilai-nilai moralitas hingga nilai-nilai
budaya.
Selain itu, dengan adanya kerja sama
dan solidaritas sosial akan tercipta sikap kepedulian dan tolong menolong antarsesama.
Yang kaya membantu yang miskin, yang kuat melindungi yang lemah, dan yang
mempunyai kedudukan tinggi menghargai orang-orang yang di bawah.
Kaitannya dengan Negara Indonesia
adalah Negara yang terkenal dengan kesopanannya ini seharusnya untuk tetap mebangun
dan menjaga nilai-nilai solidaritas dan humanitas tersebut. Sebab dengan
demikian akan tercipta bangsa yang aman, tentram dan harmonis.
Namun, jika kita melihat kenyataan
yang terjadi saat ini, kita akan mengelus dada dan menangis histeris. Sebab
nilai-nilai tersebut sudah mulai memudar dari sebagian penduduk negeri ini. Memudarnya
nilai-nilai solidaritas dan humanitas tersebut akan memberikan implikasi buruk
terhadap perkembangan dan kemajuan bangsa, baik aspek ekonomi, politik utamanya
aspek sosial itu sendiri.
Mungkin kita melihat bersama di
berbagai media, baik media cetak maupun elektronik, yang terjadi sekarang
adalah yang kuat menindas yang lemah, yang mempunyai kedudukan tinggi tidak
menghargai rakyat jelata, dan yang kaya tidak memperhatikan saudaranya yang
miskin.
Sebagai contoh konkrit adalah
munculnya berbagai macam tindak kekerasan. Itu artinya bahwa yang kuat tidak
lagi melindungi yang lemah. Bahkan yang terjadi adalah sebaliknya, yakni dengan
kekuatan yang mereka miliki, mereka bertindak semena-mena terhadap yang lemah.
Contoh yang lain adalah maraknya
kasus korupsi di pejabat-pejabat tinggi negara kita. Dengan kelakuannya yang
bejat dan tidak mencerminkan nilai-nilai solidaritas sosial tersebut, rakyat
yang miskin tersiksa karena harus meronta untuk mendapatkan uang untuk
kebutuhan hidup mereka.
Selain itu, angka kemiskinan yang tinggi merupakan salah satu akibat dari
kurangnya nilai-nilai solidaritas sosial dan humanitas tersebut. Apalagi
setelah naiknya BBM dan bahan-bahan pokok. Menurut Tim Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (Tim P2E-LIPI) memperkirakan warga miskin tahun 2008 ini akan
bertambah menjadi 41,7 juta orang (21,92 persen). Lonjakan ini akibat kebijakan
pemerintah menaikkan harga BBM sebanyak 28,7 persen.
Akibat yang ditimbulkan dari
kemiskinan tersebut adalah meningkatnya jumlah anak yang terkena gizi buruk
atau kekurangan gizi. Menurut data secara global di Indonesia tahun 2006 kasus
balita yang terkena gizi buruk mencapai angka 4,2 juta jiwa.
Contoh dampak negatif dari
kemiskinan juga adalah peristiwa yang terjadi di Makasar pada tahun 2007. Yaitu,
Kematian seorang ibu hamil dan anaknya akibat kelaparan. Padahal, dana yang
dianggarkan pemerintah untuk penanganan gizi buruk tidak sedikit. Pada tahun
2007, dana yang diberikan oleh pemerintah pusat ke daerah itu mencapai Rp 600
miliar.
Permasalah yang timbul itu sumbernya
adalah hilangnya kepedulian negara atau orang-orang yang mampu terhadap
masyarakat miskin. Nilai-nilai solidaritas dan humanitas tidak lagi terimplementasikan
dalam kehidupan sehari-hari. Pada akhirnya dapat mengakibatkan munculnya berbagai
macam problem yang dapat merugikan semua pihak, dan yang paling bahaya adalah dapat
merusak citra bangsa yang terkenal dengan bangsa sopan ini.
Padahal salah satu ciri bangsa
yang baik adalah tingginya nilai-nilai huamanitas dan solidaritas sosial di
dalamnya. Bagaimana suatu bangsa dikatakan baik, jika para pembesarnya tidak
memperhatikan kondisi rakyat di bawah?.
Dengan demikian untuk
menciptakan kehidupan yang harmonis dan tenang serta untuk menjadikan bangsa
ini berkembang peradaban dan moralnya, maka perlu adanya usaha-usaha untuk
menuju hal tersebut. Salah satunya adalah dengan membangun solidaritas sosial.
Dengan terbentuknya solidaritas sosial tersebut, maka akan tercermin dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara ini nilai-nilai humanitas yang dapat
menciptakan kehidupan ini tentram dan damai serta sejahtera.
Namun, sebelum kita melangkah
dan membangun solidaritas sosial, perlu kita sadari bersama bahwa manusia
khususnya bangsa Indonesia ini terdiri dari berbagai macam suku, ras dan
golongan. Kebiasaan atau tradisi yang satu dengan yang lain tidaklah sama.
Melihat fenomena seperti ini
hendaknya dihadapi secara obyektif. Dalam artian bahwa kita harus membaca dan
melihatnya dengan tidak menggunakan kaca mata subyektivitas kita. Karena
perspektif orang jelas berbeda-beda. Misalnya, ada tradisi yang menurut
sebagian orang tidak baik, namun menurut sebagian yang lain itu merupakan
sesuatu yang baik.
Dengan demikian untuk
membangun dan meningikatkan solidaritas sosial tersebut setidaknya ada
beberaopa cara yang dapat ditempuh. Pertama, menumbuhkan rasa simpati
dan empati dalam diri terhadap permasalahan yang dihadapi orang lain. Dengan
rasa simpati dan empati ini diharapkan dapat menjadikan motivator untuk hidup
saling tolong menolong dan membantu serta kerja sama dengan orang lain.
Kedua, Silaturrahim (komunikasi) antarsesama,
minimal dengan tetangga terdekatnya. Dengan silaturrahim ini diharapkan bisa
menciptakan hubungan emosional yang kuat antara yang satu dengan yang lain.
Sebab, secara tidak langsung jika seseorang sering bertemu, akan timbul satu
ikatan cinta dan kasih sayang.
Ketiga, Membudayakan saling menyapa saat bertemu. Menyapa
bisa dilakukan dengan cara apapun asalkan itu baik dan tidak menyinggung
perasaan orang lain. Kalau dia seorang muslim maka dengan mengucapkan salam.
Walaupun hal ini kelihatan sangat remeh, akan tetapi ini merupakan salah satu
kabel penyambung antara seseorang dengan yang lain. Minimal dengan tiga cara inilah
solidaritas sosial di masyarakat akan terbangaun.
Keempat,
saling memberi dan tolong menolong serta saling menghormati antarsesama.
Artinya, untuk menciptakan dan meningkatkan rasa solidaritas atau ukhuawah antar
sesama hendaknya membudayakan salaing memberi, tolong-menolong dan saling
menghormati. Yang kaya membantu yang miskin, yang kuat melindungi yang lemah,
yang di bawah menghormati di atas dan yang di atas menghargai yang di bawah.
Dengan beberapa cara tersebut, maka akan tercipta solidaritas sosial yang
tinggi.
*Penulis adalah Jurnalis Koran Bestari Universitas Muhammadiyah Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar